Senin, 08 April 2013

Budak, Tersirat

Di zaman sekarang ini, uang bisa dibilang dewa, kalau tidak bisa disebut tuhan. Karena uang ibarat nadi yang menggerakkan perekonomian manusia. Bahkan untuk buang air pun butuh uang. Dan orang bekerja sudah pasti untuk mendapatkan uang, walaupun orang tersebut berdalih bahwa dia bekerja karena panggilan hati, atau untuk mendapatkan pengalaman, tetapi tentu saja hasil akhir (akhir bulan, biasanya) dari pekerjaannya adalah uang, selain lelah tentunya.

Menurut teori, jumlah uang yang beredar di masyarakat ditentukan oleh[1]:

1). Pendapatan
2). Tingkat Suku Bunga
3). Selera Masyarakat
4). Harga Barang
5). Fasilitas kredit
6). Kekayaan yang dimiliki masyarakat

Lebih simpelnya ditentukan dari berapa banyaknya barang dan jasa yang sanggup diperjualbelikan oleh masyarakat.

Karyawan yang bekerja seharian untuk mendapat uang, untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang didistribusikan oleh distributor, juga untuk mendapatkan uang. Yang barangnya didapatkan dari produsen yang memproduksi barang, yang intinya untuk mendapatkan uang.

Padahal sebelum uang dikenal luas yang ada hanya produsen, menghasilkan barang untuk dirinya sendiri, lalu menukarkan dengan barang orang lain jika ia membutuhkan barang selain yang diproduksinya, tidak ada yang menuhankan uang. Tetapi karena manusia terus memikirkan cara mempermudah proses jual beli, muncullah uang, yang di awal pembuatannya terbuat dari benda yang langka, atau  benar-benar berharga, emas misalnya. Uanglah yang digunakan untuk mempermudah aktivitas masyarakat atau kelompok tersebut, bukan mereka yang diperbudak uang.

Seharusnya tidak ada yang mendapat keuntungan dari pengadaan uang, karena yang mendapatkan uang seharusnya hanyalah yang produktif, yang bekerja untuk mendapatkan uang. Tetapi, terdapat sebagian kecil masyarakat yang lebih pintar dan mampu berpikir lebih baik dari kebanyakan, memikirkan cara mendapatkan barang tanpa memiliki barang untuk ditukarkan. Dibuatlah uang yang bahannya bahkan dari barang biasa, bukan barang langka atau sangat berharga, dari kertas. Mereka inilah yang menguasai masyarakat, pemakai uang, tanpa disadari para "budak" tersebut.

Untuk ilustrasi yang jelas dan gamblang, agar anda dapat memahami dengan lebih mudah, di bawah saya akan mengutip dari "Pustaka Pohon Bodhi".

"Kalau demi memiliki uang dan menghindari sistem bartel yang merepotkan, masyarakat tersebut rela MEMINJAM uang kepada kelompok tersebut, maka masyarakat ini secara de facto telah menjadi budak abadi dari kelompok pencipta uang itu.

Misalkan : masyarakat ini terdiri dari 100 penduduk. Ada yang jadi petani, nelayan, tukang kayu, penenun kain, tukang masak, penambang, guru dll.

Kemudian sang Pencipta Uang, katakanlah seorang penambang emas, berhasil membujuk masyarakat tersebut untuk menggunakan koin emas buatannya sebagai medium pertukaran (uang). Semua orang membeli emas darinya, dan sebagai gantinya memberikan barang / jasa tertentu kepadanya. Yang lain, karena tidak memiliki barang, akhirnya harus meminjam kepada tukang emas tersebut.

Bila tukang emas ini meminjamkan 1000 koin emas dan menagih 5% bunga kepada masyarakat ini, maka tanpa menggunakan hukum bunga-berbunga sekalipun, dalam waktu 20 tahun tukang emas ini akan memiliki semua koin emas dia kembali, dan masyarakat ini masih tetap berhutang 1000 koin emas kepadanya.

Saat itu, tak satu pun koin beredar di masyarakat, sehingga tidak mungkin masyarakat tersebut sanggup membayar. Tentu saja, dalam prakteknya, memasuki tahun ke-2 sekalipun tukang emas tersebut sudah harus meminjamkan koin emasnya kepada anggota masyarakat ini, tukang emas ini tidak ingin bunga yang dia terima membuat suplai uang di masyarakat menurun, karena nantinya skema ini akan terbongkar.

Penurunan suplai uang di komunitas manapun selalu menciptakan resesi / depresi ekonomi. Agar sistem ini tidak gagal, komunitas tersebut harus terus mengajukan pinjaman baru, agar saat bunga / cicilan pokok pinjaman lama dibayarkan, suplai uang di komunitas tersebut tidak berkurang.

Tidak masalah medium apa yang Anda gunakan sebagai uang, selama sang pencipta uang adalah pemilik medium uang (bukannya masyarakat itu sendiri) dan berhak menagih bunga atas pinjamannya, masyarakat ini tidak akan pernah sanggup melepaskan diri dari perbudakan bunga, siklus inflasi dan resesi.

Pihak yang paling berkepentingan agar emas menjadi medium pertukaran uang, bisa Anda yakin bahwa dia pasti memiliki banyak emas yang ingin dia jual atau pinjamkan. Inilah satu-satunya motivasi dia untuk mempromosikan emas sebagai uang.

Karena kemampuan komunitas tersebut untuk berhutang ada batasnya, dan akibat bunga pinjaman yang harus mereka bayarkan, sebagian anggota komunitas tersebut pun jatuh miskin pada tahun-tahun pembayaran berikutnya. Manusia, sebagai makluk sosial, menyadari bahwa anggota masyarakat yang tidak beruntung ini tidak bisa dibiarkan begitu saja dan perlu dibantu. Maka diciptakanlah sebuah institusi sederhana untuk membantu mereka, yaitu Pemerintah, yang juga akan berfungsi untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak.

Tetapi, karena dari tahun ke tahun semakin banyak uang yang diperlukan untuk membantu anggota masyarakat yang tidak beruntung ini, skala pemerintah dan uang yang diperlukan untuk membiayai mereka pun terus bertambah besar.

Pemerintah, yang didirikan untuk menjadi penolong, perlahan-lahan justru berubah menjadi penodong. Jangan lupa, anggota pemerintah pun orang-orang biasa yang perlu makan dan memiliki kebutuhan lainnya. Jadi, sebelum uang yang dikumpulkan masyarakat untuk membantu orang miskin ini digunakan, sebagian uang tersebut pun masuk ke kantong anggota pemerintah terlebih dahulu.

Semakin besar jumlah orang miskin yang perlu dibantu, semakin besar skala pemerintah di komunitas tersebut. Semakin banyak usaha yang jatuh bangkrut, semakin sering juga pemeritah mengambil alih usaha-usaha tersebut, dan semakin banyak uang juga yang perlu dibayar anggota komunitas yang masih produktif dan belum bangkrut (*pajak). Suatu ketika, saat uang yang sanggup dikumpulkan dari masyarakat yang masih produktif pun tidak mencukupi lagi, pemerintah, sebagai sebuah institusi, pun mulai mengajukan pinjaman kepada si pencipta uang (dalam contoh di atas, si tukang emas)

(*Pajak : bedakan pajak yang ditarik untuk membantu orang miskin, pembangunan infrastruktur, gaji anggota pemerintah, Vs pajak untuk membayar cicilan hutang pemerintah. Kalau Anda mengira pajak yang Anda bayarkan setiap bulan semuanya digunakan untuk membantu orang miskin di Indonesia, memperbaiki jalan, sekolah, tempat ibadah dll, sebaiknya Anda mengecek dengan mata sendiri betapa besarnya anggaran pemerintah yang digunakan untuk membayar cicilan hutang & pokok kepada bankir internasional.)

Pemerintah, akhirnya pun terpojok untuk terus memaksa rakyatnya membayar lebih banyak lagi tagihan pajak, bea ini bea itu, pungutan jinak, pungutan liar, dll. Sekarang posisinya menjadi Pemerintah Vs Rakyat.

Orang-orang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pun mulai membuat kelompok (partai) baru, seolah-olah mereka bisa menyelesaikan masalah, mengembalikan skala pemerintah ke skala yang lebih kecil, dan mengurangi pajak dan pungutan kepada masyarakat produktif mereka.

Puluhan partai didirikan untuk berdebat satu sama lain, tetapi tak seorang pun yang bersedia mendebat asal usul uang mereka, tak seorang pun membicarakan si tukang emas. Mungkin memang itulah fungsi utama sistem demokrasi, agar si tukang emas lebih gampang mempertahankan kekuasaan. Bagaimanapun, jauh lebih gampang menyuap beberapa ratus anggota parlemen dibanding menyuap mayoritas rakyat di suatu negara.

Keadaan dari tahun ke tahun bertambah kacau, jumlah orang miskin terus bertambah dari generasi ke generasi. Anak-anak muda mulai khawatir akan masa depan mereka, dan tak mengerti mengapa generasi ini tampaknya lebih miskin dibanding generasi sebelumnya, dan kelihatannya anak-anak mereka sendiri akan lebih miskin dibanding mereka sendiri saat ini.

Polisi, tentara, yang seharusnya ada untuk melindungi rakyatnya, suatu ketika akan digunakan oleh si tukang emas sebagai senjata untuk melawan rakyatnya. Ironisnya, si tukang emas ini bahkan tidak perlu repot-repot menggaji polisi dan tentara. Gaji mereka dibayar oleh pajak rakyat yang mereka tindas.
Kita masih berada dalam perbudakan bunga bank, tidak berubah sejak sebelum merdeka. Dan bank-bank komersial pun masih tetap mempraktekkan fractional reserve banking, tidak berubah sejak ratusan tahun lalu.

Kontrol atas kredit masih di tangan bankir, bukan di tangan rakyat. Jadi... Nothing is going to change, nothing!

Tahun depan, saat pinjaman tak terbayar rakyat USA memuncak, konsumsi mereka akan menurun tajam. Ketika mereka berhenti konsumsi, toko-toko distributor utama di Amerika akan mengurangi order ke pabrik-pabrik di Asia dan Eropa. Kurangnya order kemudian diikuti dengan PHK masal di Asia dan Eropa, dan kemudian toko-toko retail di Asia dan Eropa pun akan mulai jatuh bangkrut dan tidak bisa membayar pinjaman ke bank-bank komerisial lokal mereka.

Hanya orang-orang (& perusahaan) yang paling sedikiti dibiayai oleh hutanglah yang bisa keluar dari krisis kali ini. Sisanya akan jatuh bangkrut dan aset mereka akan diambilalih para bankir. 2-3 tahun ke depan, para "tukang emas" akan menikmati sensasi konsolidasi mereka, bisnis-bisnis akan jatuh ke lebih sedikit tangan, kompetisi akan berkurang (termasuk bisnis perbankan). Mimpi mereka untuk meMONOPOLI semua aset semakin mendekati kenyataan. "Last Man Standing."

Di sisi lain, orang-orang miskin terus bertambah. Anak-anak tidak sanggup sekolah, orang yang masih memiliki pekerjaan pun mulai berpikir untuk korupsi lebih banyak karena gaji tidak mencukupi, sebagian lagi mencari solusi lewat perjudian, prostitusi, perdagangan obat terlarang, dan hubungan internal keluarga juga memburuk. Hubungan antar orang di masyarakat pun tidak bertambah baik, orang-orang sibuk memikirkan bagaimana mereka harus makan, tak ada lagi waktu untuk bersosialisasi secara suka rela, kemunafikan pun bertambah... Kriminalitas akan meningkat tajam, dan tak banyak yang bisa dilakukan."
Perhatikan bagian akhir,  hanya orang yang hutangnya paling sedikit yang bisa keluar dari krisis ekonomi, mengapa? Tentu saja karena mereka terhindar dari bunga-berbunga, dari kewajiban untuk terus membayar, menyetorkan uang mereka dalam keadaan nilai uang yang jatuh. Bukan berarti kita tidak boleh berhutang, yang salah adalah sistem kredit berbunga, yang hanya menguntungkan pihak kreditur.

Lalu apakah kita akan diam saja?

"Bila Anda tidak menghentikan sistem ini sekarang, bila Anda tidak mengekspos kejahatan perbankan sekarang, maka akan tiba suatu hari.. di mana saat Anda mempertaruhkan nyawa Anda sekalipun, Anda tidak akan punya peluang lagi untuk menang. Semua aset, utilitas umum, militer, media, pendidikan, kepolisian, konglomerasi pertanian, perkebunan, pertambangan, gudang nasional makanan dan distribusinya, semuanya sudah dalam genggaman "tukang emas"."
Ceritakan kebobrokan ini, bongkar!! Karena jika kita diam saja, "Kontrol atas kredit masih di tangan bankir, bukan di tangan rakyat. Jadi... Nothing is going to change, nothing!" Sudah jelas yang mendapat keuntungan adalah si "tukang emas", mungkin itu salah satu alasan seorang pejabat pindah dari ranah kementerian menuju perbankan.


Tulisan ini banyak terinspirasi dari Pustaka Pohon Bodhi


Minggu, 07 April 2013

Perspektif Berbeda dari Seorang bergelar "Terbaik"

Saya pernah merasakan di atas, "terbaik", seperti wisudawan yang menyampaikan pidato di bawah. Pernah juga merasakan di tengah, bahkan terpuruk di bawah teman-teman sekelas, walaupun bukan terbawah. Beruntunglah saya, sudah pernah merasakan jadi setengah robot, juga pernah merasakan jadi manusia, walau bukan seutuhnya. Saat di tengah-tengah atau bahkan di bawah lah, saya merasakan hidup yang nyaman, bukan berarti tidak mau keluar dari "comfort zone", nyaman dalam arti tidak merasa seperti robot, mesin, atau apalah namanya, yang tujuan dan cara atau proses sampai ke tujuan ditentukan pihak lain, bukan diri sendiri.


PIDATO WISUDAWAN TERBAIK 

Ini adalah cuplikan pidato pada upacara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Disampaikan oleh Erica Goldson, wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu:

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang
menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya.
Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang
lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan
adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang
diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai
mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan
menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan
sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup
bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman
hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam
pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak
terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik.
Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman
yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi
pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik
membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR
saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil
ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran,
apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas
menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa
yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi
pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam
kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak
memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk
belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi
untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai
ketakutan.......”












pidato dikutip dari http://pohonbodhi.blogspot.com/

Selasa, 19 Maret 2013

Ingat, Kematian, Pasti

Rasulullah SAW bersabda:  

"Perbanyaklah olehmu mengingat-ingat kepada sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan, yaitu kematian.” (HR. Turmudzi).

Kematian adalah hal yang pasti bagi setiap manusia, meningatnya adalah salah satu obat kegelisahan dan kegundahan bagi orang beriman. Dan salah satu racun dunia, adalah terlalu mencintainya, mencintai dunia.

Menurut para ulama hadits di atas adalah sebuah kalimat yang singkat, tetapi sarat dengan pesan dan pelajaran. Orang yang benar-benar ingat kematian, dengan sendirinya akan sadar tentang hakikat nikmat yang tengah dirasakannya di dunia. Sehingga ia tidak akan banyak berharap nikmat itu akan abadi di masa datang, dan ia akan bersikap zuhud terhadap apa yang diharapkan daripadanya. 

Allah berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)


Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,


أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[2]
 
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.” [1]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11] 

Tentang zuhud tidak berarti hidup miskin juga diceritakan dengan lebih jelas dalam posting saya berjudul Zuhudnya Sang Nelayan, yang isinya diambil dari sebuah buku berjudul "Cinta Bagai Anggur".

Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa, hadis Nabi SAW tersebut merupakan nasihat sekaligus peringatan. Bahwasanya mengingat mati itu perintah, sebab orang yang teringat kematian dengan sebenarnya pasti akan mengurangi sifat-sifat tamaknya terhadap dunia dan menghalanginya untuk berangan-angan yang tak berujung.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan di dunia, dan bukan orang-orang tamak, cinta dunia, dan berangan-angan tanpa henti terhadapnya.

"Man, because he sacrifices health in order to make money. Then he sacrifices money to recuperate health. And then he is so anxious about the future that he does not enjoy the present; the result being that he does not live in the present or the future; he lives as if he is never going to die, and then he dies having never really lived."
 The Dalai Lama, supposedly, when asked what 'surprises him the most' — this seems derived from the work of an unknown author circulated as "An Interview with God…"

sumber-sumber:

http://www.hidayatullah.com/read/18813/12/09/2011/mengingat-mati,-cara-efektif-tundukkan-nafsu.html

http://www.penerbitakbar.com/tazkiyatun-nafs/64-ingat-mati-dan-persiapan-menyambutnya

http://annajiyah.or.id/berita-120-memahami-arti-zuhud.html

http://en.wikiquote.org/wiki/Talk:Tenzin_Gyatso,_14th_Dalai_Lama 





Zuhudnya Sang Nelayan

Cerita berikut ini diambil tanpa perubahan dari buku "Cinta Bagai Anggur", karya Syaikh Muzaffer Ozak yang dikompilasi oleh Syaikh Ragip Frager. Sungguh, klimaks cerita ini terdapat di akhir.

Ibnu 'Arabi, yang di kalangan para akademisi sering digelari as-Syaikh al-Akbar, semasa perjalanannya di Tunisia pernah bertemu dengan seorang nelayan pengabdi Tuhan yang memilih untuk menjalani cara hidup yang sangat sederhana. Nelayan itu tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari lumpur kering. Setiap hari ia melaut dengan perahunya untuk menangkap ikan dan seluruh tangkapannya hari itu akan ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Ia sendiri hanya mengambil sepotong kepala ikan untuk direbus, sebagai makan malamnya yang sangat sederhana.

Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu'arabi, dan selang berlalunya waktu ia sendiri pun ternyata menjadi seorang syaikh. Kemudian, pada suatu ketika, salah seorang murid dari nellayan itu harus mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu lalu meminta muridnya menemui Ibnu 'Arabi untuk memintakan nasihat bagi dirinya. Sang nelayan, yang merasa bahwa telah bertahun-tahun ini perkembangan jiwanya tidak lagi mengalami kemajuan, membutuhkan nasihat dari Ibnu'arabi.

Ketika si murid sampai di kota tempat tinggal Ibnu'Arabi, segera ia menanyakan tepat di mana ia bisa menemui beliau. Orang-orang di kota menunjuk ke puncak bukit, ke sebuah puri yang tampak seperti istana, dan mengatakan bahwa di sanalah tempat tinggal Ibnu 'Arabi. Dia sangat terkejut melihat betapa tampak sangat duniawinya kehidupan Ibnu'Arabi, apalagi jika dibandingkan dengan guru tercintanya sendiri, yang hanya seorang nelayan sederhana.

Dengan enggan ia melangkahkan kakinya ke arah puri itu. Sepanjang perjalanan ia melalui ladang-ladang yang terawat baik, jalan-jalan yang indah, dan kumpulan-kumpulan domba, kambing dan sapi, setiap kali ia bertanya, i selalu memperoleh jawaban bahwa pemilik semua ladang, lahan dan ternak itu adalah Ibnu'Arabi. Ia bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang sangat materialis seperti itu bisa menjadi sufi terkemuka.

Sesampainya di puri, apa yang paling ditakutinya terbukti. Di sana terlihat kekayaan dan kemewahan yang belum pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpi-mimpinya. Dindingnya terbuat dari marmer dengan ornamen yang diukir dan disusun. Lantainya ditutupi karpet-karpet yang tak ternilai. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra, yang bahkan  lebih indah dari pakaian orang-orang paling kaya di kampungnya. Ketika menanyakan Ibnu 'Arabi, dikatakan kepadanya bahwa mereka sedang mengunjungi khalifah [1] dan akan segera kembali. Setelah menunggu sebentar, tak lama kemudian terlihatlah olehnya sebuah arak-arakan yang mendatangi puri tersebut. Awalnya tampak pasukan kehormatan dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, duduk di punggung kuda-kuda arab yang indah. Kemudian terlihatlah Ibn 'Arabi, dalam jubah sutra yang lura biasa, mengenakan sorban layaknya seorang sultan.

Ketika si Darwis muda telah diantar menghadap kepada Ibnu 'Arabi, para pelayan lelaki yang tampan dan gadis-gadis pelayan yang cantik segera membawakan mereka kopi dan kue-kue. Si darwis muda pun menyampaikan pesan gurunya. Ia begitu terkejut dan geram ketika Ibnu 'Arabi mengatakan padanya, "Sampaikan kepada gurumu, masalah dirinya adalah bahwa ia masih terikat kepada keduniawian."

Sekembalinya ia ke kampungnya, gurunya ingin sekali mendengar hasil perjalanannnya, apakah ia telah bertemu dengan al-Syaikh al-Akbar. Dengan enggan ia menjawab bahwa ia memang telah berhasil menemuinya. "Nah, bagaimana, apakah beliau menitipkan nasihat untukku?"

Sang darwis mencoba untuk menghindar dari keharusan mengulangi terguran Ibnnu 'Arabi kepada gurunya. Nasihat itu dirasakannya sungguh tidak pantas, mengingat betapa berlimpahnya kemewahan Ibnu 'Arabi dan begitu asketiknya kehidupan gurunya. Di samping itu, ia mulai khawatir akan membuat gurunya tersinggung dengan mengucapkan kembali nasihat semacam itu.

Sang nelayan terus memaksanya bercerita, hingga akhirnya si darwis muda menyampaikan juga apa yang dikatakan Ibnu 'Arabi kepadanya. Meledaklah tangis sang nelayan mendengar terguran Ibnu 'Arabi kepadanya. muridnya, darwis muda itu, terheran-heran dan bertanya, bagaimana mungkin Ibnu 'Arabi, yang hidup dalam kemewahan seperti itu, berani menasihati gurunya gurunya bahwa ia masih terikat kepada keduniawian. "Ia benar!" kata si nelayan, di sela-sela tangisnya. "Ia sungguh tidak peduli sama sekali dengan semua yang ada padanya. Sementara aku, ketika setiap malam menyantap kepala ikan, aku masih saja berharap seandainya saja kepala ikan itu adalah seekor ikan yang utuh."

Maaf bila saya melanggar hak cipta, tetapi saya merasa cerita-cerita dari buku ini seharusnya disampaikan ke orang banyak. Inti cerita ini dalam pemikiran saya yang masih nyeleneh, zuhudlah terlebih dahulu, lalu dunia akan datang dengan mudah bahkan dengan sendirinya diberikan Allah SWT. Tetapi bisa juga diartikan, setelah cukup dunia, barulah zuhud bisa diperoleh. Entah mana yang benar, mungkin tergantung manusia yang menjalaninya.


[1] Ada sebuah masa yang lalu, ketika seorang sufi mengunjungi orang kaya maupun raja merupakan hal yang sangat tabu dan menunjukkan pengharapannya pada materi

Senin, 11 Maret 2013

Pari, Rayfish, Island

Just pics, no narration, enjoy photos from my trip to "Pulau Pari", Kepulauan Seribu, Jakarta!!!



































Kamis, 14 Februari 2013

AFTA, Impor, Lokal, Produk, Pangan

ForBis di MetroTV kemarin membahas topik yang bagus, Proteksi Setengah Hati. Intinya tentang proteksi industri pangan dan petani kita dari invasi impor yang merajalela. Bisa dilihat impor sekarang sudah gila-gilaan, kalau ke supermarket, barang-barang impor bertebaran. Bahaya yang lebih besar kalau impor memasuki lahan pangan sensitif, pokok, atau apalah namanya seperti beras, daging, umbi-umbian.

AFTA atau ACFTA sudah mengancam pasar pangan Indonesia. Coba aja, masa harga jeruk dari Cina bisa lebih murah dari harga jeruk lokal? Apakah mereka menggunakan "cheat"? Tentu tidak, ini hasil dari integrasi pemerintah dengan industri di negerinya. Di ForBis dibahas masalah-masalah di dalam negeri yang menyebabkan harga komoditi lokal lebih mahal dari barang impor.

Jelas lebih mahal, bahan pangan dari luar Jawa atau luar Jakarta bisa melalui 7 distributor sebelum sampai ke konsumen di Jakarta, ada pula penyelundupan dan pemalsuan pupuk yang merugikan petani, juga hasil produksi pangan di Indonesia yang belum mencapai skala industri, terutama holtikultura, yang menyebabkan industri-industri di Indonesia mengutamakan barang impor. Tetapi sesungguhnya produk Indonesia memiliki kelebihan yaitu banyak diantaranya memiliki kualitas lebih bagus dari produk impor.

Juga dibahas kebijakan-kebijakan IMF, WTO, dan kebijakan luar negeri lainnya yang menguntungkan pihak asing. Jika negara lebih memihak kepentingan asing, bagaimna nasib rakyatnya sendiri? Di Jepang beras lokal lebih mahal dari beras impor, tetapi pemerintah Jepang tidak mengimpor beras dan rakyatnya pun membeli beras lokal yang lebih mahal itu secara otomatis. Bahkan hingga taraf kelangkaan beras, Jepang masih belum mengimpor beras, sungguh merupakan contoh pemerintah yang memperhatikan petaninya!
Shinzo Abe, PM Jepang 2012-sekarang

Kita saat ini dituntut untuk lebih mencintai dan membeli produk lokal daripada produk impor. Tetapi bahkan hal ini ada kendalanya, kalau belanja di supermarket sudah jelas ada labelnya mana barang impor atau lokal, nah kalau di pasar, siapa yang tau mana barang impor atau lokal? Kecuali tentu saja penjualnya menyebutkan.

Salah satu solusinya mungkin, propaganda "Cintai Produk Indonesia" harus  ditargetkan tidak hanya ke konsumen, tetapi juga kepada distributor dan industri pangan olahan, bahkan lebih hebat lagi jika ditanamkan mulai dari SD, SMP, dst.


CINTAI PRODUK INDONESIA!

Minggu, 10 Februari 2013

panjang umur, kebahagiaan, dosa

panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia
panjang umurnya serta mulia
serta mulia, serta mulia...

Panjang umur merupakan salah satu obsesi manusia sejak dahulu kala, mungkin sejak manusia mengenal konsep umur. Lirik lagu di atas merupakan bukti manusia menginginkan dirinya atau orang lain untuk panjang umur. Bahkan banyak cerita fiksi yang memasukkan unsur ke-panjang umur-an dan bahkan, keabadian. Contohnya antara lain adalah vampir, elf, batu bertuah (yang bisa mengeluarkan "Elixir of Life"), dan unsur lainnya yang berhubungan dengan keabadian.

Tetapi pemikiran saya berkata lain, mungkin ini adalah pemikiran seorang pesimis. Adakah gunanya kehidupan yang panjang jika tidak disertai kebahagiaan, pencapaian hidup, kesuksesan, atau bahkan umur yang panjang tetapi digunakan untuk berbuat dosa, baik disadari maupun tidak disadari? Mungkin yang paling penting dalam hidup adalah kebahagiaan, ultimately, masuk surga. Setiap orang yang mempercayai konsep Surga-Neraka pastilah memiliki tujuan dan keinginan untuk masuk surga, sekalipun kecil keinginannya tersebut.

Lebih baik yang mana, umur panjang, namun dipenuhi perbuatan dosa, kesengsaraan, ujian, cobaan yang serasa tidak berhenti, apakah kita akan tetap memilih umur yang panjang tersebut? Ataukah kita memilih hidup yang sebentar tetapi bahagia, banyak berbuat baik, berguna bagi orang lain, lalu ujung-ujungnya masuk surga pula.

"Do not try to live forever, you will not succeed."
George Bernard Shaw

JIKA saja kita akan mengetahui hidup kita akan seperti apa tentu saja kita, paling tidak saya, akan memilih opsi kedua. Tetapi lebih baik lagi semua hal-hal yang baik dari kedua opsi itu digabungkan, menjadi panjang umur dan bahagia, itu keinginan mayoritas orang-orang yang normal sepertinya. Tetapi kita tidak mengetahui seperti apa kehidupan kita nanti bukan? Bahkan dengan mempelajari masa lalu pun tidak menjamin akan membantu kita menggarungi samudera kehidupan, yang penuh akan konsekuensi pilihan-pilihan kita.

“The older I grow, the more I distrust the familiar doctrine that age brings wisdom.”
H.L. Mencken

Intinya, hiduplah mengikuti hati nurani, karena hati nurani dan insting mempunyai kekuatan membimbing kita menuju kebahagiaan (jika hati tersebut belum mati). Jalankan perintah agama, agama manapun pasti membimbing kita menuju surga. Tetap belajar, terus belajar, hingga usia apapun kita hidup.

"Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young."
Henry Ford