Minggu, 07 April 2013

Perspektif Berbeda dari Seorang bergelar "Terbaik"

Saya pernah merasakan di atas, "terbaik", seperti wisudawan yang menyampaikan pidato di bawah. Pernah juga merasakan di tengah, bahkan terpuruk di bawah teman-teman sekelas, walaupun bukan terbawah. Beruntunglah saya, sudah pernah merasakan jadi setengah robot, juga pernah merasakan jadi manusia, walau bukan seutuhnya. Saat di tengah-tengah atau bahkan di bawah lah, saya merasakan hidup yang nyaman, bukan berarti tidak mau keluar dari "comfort zone", nyaman dalam arti tidak merasa seperti robot, mesin, atau apalah namanya, yang tujuan dan cara atau proses sampai ke tujuan ditentukan pihak lain, bukan diri sendiri.


PIDATO WISUDAWAN TERBAIK 

Ini adalah cuplikan pidato pada upacara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Disampaikan oleh Erica Goldson, wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu:

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang
menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya.
Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang
lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan
adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang
diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai
mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan
menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan
sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup
bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman
hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam
pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak
terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik.
Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman
yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi
pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik
membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR
saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil
ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran,
apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas
menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa
yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi
pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam
kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak
memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk
belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi
untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai
ketakutan.......”












pidato dikutip dari http://pohonbodhi.blogspot.com/