Selasa, 19 Maret 2013

Ingat, Kematian, Pasti

Rasulullah SAW bersabda:  

"Perbanyaklah olehmu mengingat-ingat kepada sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan, yaitu kematian.” (HR. Turmudzi).

Kematian adalah hal yang pasti bagi setiap manusia, meningatnya adalah salah satu obat kegelisahan dan kegundahan bagi orang beriman. Dan salah satu racun dunia, adalah terlalu mencintainya, mencintai dunia.

Menurut para ulama hadits di atas adalah sebuah kalimat yang singkat, tetapi sarat dengan pesan dan pelajaran. Orang yang benar-benar ingat kematian, dengan sendirinya akan sadar tentang hakikat nikmat yang tengah dirasakannya di dunia. Sehingga ia tidak akan banyak berharap nikmat itu akan abadi di masa datang, dan ia akan bersikap zuhud terhadap apa yang diharapkan daripadanya. 

Allah berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)


Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,


أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[2]
 
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.” [1]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11] 

Tentang zuhud tidak berarti hidup miskin juga diceritakan dengan lebih jelas dalam posting saya berjudul Zuhudnya Sang Nelayan, yang isinya diambil dari sebuah buku berjudul "Cinta Bagai Anggur".

Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa, hadis Nabi SAW tersebut merupakan nasihat sekaligus peringatan. Bahwasanya mengingat mati itu perintah, sebab orang yang teringat kematian dengan sebenarnya pasti akan mengurangi sifat-sifat tamaknya terhadap dunia dan menghalanginya untuk berangan-angan yang tak berujung.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan di dunia, dan bukan orang-orang tamak, cinta dunia, dan berangan-angan tanpa henti terhadapnya.

"Man, because he sacrifices health in order to make money. Then he sacrifices money to recuperate health. And then he is so anxious about the future that he does not enjoy the present; the result being that he does not live in the present or the future; he lives as if he is never going to die, and then he dies having never really lived."
 The Dalai Lama, supposedly, when asked what 'surprises him the most' — this seems derived from the work of an unknown author circulated as "An Interview with God…"

sumber-sumber:

http://www.hidayatullah.com/read/18813/12/09/2011/mengingat-mati,-cara-efektif-tundukkan-nafsu.html

http://www.penerbitakbar.com/tazkiyatun-nafs/64-ingat-mati-dan-persiapan-menyambutnya

http://annajiyah.or.id/berita-120-memahami-arti-zuhud.html

http://en.wikiquote.org/wiki/Talk:Tenzin_Gyatso,_14th_Dalai_Lama 





Zuhudnya Sang Nelayan

Cerita berikut ini diambil tanpa perubahan dari buku "Cinta Bagai Anggur", karya Syaikh Muzaffer Ozak yang dikompilasi oleh Syaikh Ragip Frager. Sungguh, klimaks cerita ini terdapat di akhir.

Ibnu 'Arabi, yang di kalangan para akademisi sering digelari as-Syaikh al-Akbar, semasa perjalanannya di Tunisia pernah bertemu dengan seorang nelayan pengabdi Tuhan yang memilih untuk menjalani cara hidup yang sangat sederhana. Nelayan itu tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari lumpur kering. Setiap hari ia melaut dengan perahunya untuk menangkap ikan dan seluruh tangkapannya hari itu akan ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Ia sendiri hanya mengambil sepotong kepala ikan untuk direbus, sebagai makan malamnya yang sangat sederhana.

Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu'arabi, dan selang berlalunya waktu ia sendiri pun ternyata menjadi seorang syaikh. Kemudian, pada suatu ketika, salah seorang murid dari nellayan itu harus mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu lalu meminta muridnya menemui Ibnu 'Arabi untuk memintakan nasihat bagi dirinya. Sang nelayan, yang merasa bahwa telah bertahun-tahun ini perkembangan jiwanya tidak lagi mengalami kemajuan, membutuhkan nasihat dari Ibnu'arabi.

Ketika si murid sampai di kota tempat tinggal Ibnu'Arabi, segera ia menanyakan tepat di mana ia bisa menemui beliau. Orang-orang di kota menunjuk ke puncak bukit, ke sebuah puri yang tampak seperti istana, dan mengatakan bahwa di sanalah tempat tinggal Ibnu 'Arabi. Dia sangat terkejut melihat betapa tampak sangat duniawinya kehidupan Ibnu'Arabi, apalagi jika dibandingkan dengan guru tercintanya sendiri, yang hanya seorang nelayan sederhana.

Dengan enggan ia melangkahkan kakinya ke arah puri itu. Sepanjang perjalanan ia melalui ladang-ladang yang terawat baik, jalan-jalan yang indah, dan kumpulan-kumpulan domba, kambing dan sapi, setiap kali ia bertanya, i selalu memperoleh jawaban bahwa pemilik semua ladang, lahan dan ternak itu adalah Ibnu'Arabi. Ia bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang sangat materialis seperti itu bisa menjadi sufi terkemuka.

Sesampainya di puri, apa yang paling ditakutinya terbukti. Di sana terlihat kekayaan dan kemewahan yang belum pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpi-mimpinya. Dindingnya terbuat dari marmer dengan ornamen yang diukir dan disusun. Lantainya ditutupi karpet-karpet yang tak ternilai. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra, yang bahkan  lebih indah dari pakaian orang-orang paling kaya di kampungnya. Ketika menanyakan Ibnu 'Arabi, dikatakan kepadanya bahwa mereka sedang mengunjungi khalifah [1] dan akan segera kembali. Setelah menunggu sebentar, tak lama kemudian terlihatlah olehnya sebuah arak-arakan yang mendatangi puri tersebut. Awalnya tampak pasukan kehormatan dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, duduk di punggung kuda-kuda arab yang indah. Kemudian terlihatlah Ibn 'Arabi, dalam jubah sutra yang lura biasa, mengenakan sorban layaknya seorang sultan.

Ketika si Darwis muda telah diantar menghadap kepada Ibnu 'Arabi, para pelayan lelaki yang tampan dan gadis-gadis pelayan yang cantik segera membawakan mereka kopi dan kue-kue. Si darwis muda pun menyampaikan pesan gurunya. Ia begitu terkejut dan geram ketika Ibnu 'Arabi mengatakan padanya, "Sampaikan kepada gurumu, masalah dirinya adalah bahwa ia masih terikat kepada keduniawian."

Sekembalinya ia ke kampungnya, gurunya ingin sekali mendengar hasil perjalanannnya, apakah ia telah bertemu dengan al-Syaikh al-Akbar. Dengan enggan ia menjawab bahwa ia memang telah berhasil menemuinya. "Nah, bagaimana, apakah beliau menitipkan nasihat untukku?"

Sang darwis mencoba untuk menghindar dari keharusan mengulangi terguran Ibnnu 'Arabi kepada gurunya. Nasihat itu dirasakannya sungguh tidak pantas, mengingat betapa berlimpahnya kemewahan Ibnu 'Arabi dan begitu asketiknya kehidupan gurunya. Di samping itu, ia mulai khawatir akan membuat gurunya tersinggung dengan mengucapkan kembali nasihat semacam itu.

Sang nelayan terus memaksanya bercerita, hingga akhirnya si darwis muda menyampaikan juga apa yang dikatakan Ibnu 'Arabi kepadanya. Meledaklah tangis sang nelayan mendengar terguran Ibnu 'Arabi kepadanya. muridnya, darwis muda itu, terheran-heran dan bertanya, bagaimana mungkin Ibnu 'Arabi, yang hidup dalam kemewahan seperti itu, berani menasihati gurunya gurunya bahwa ia masih terikat kepada keduniawian. "Ia benar!" kata si nelayan, di sela-sela tangisnya. "Ia sungguh tidak peduli sama sekali dengan semua yang ada padanya. Sementara aku, ketika setiap malam menyantap kepala ikan, aku masih saja berharap seandainya saja kepala ikan itu adalah seekor ikan yang utuh."

Maaf bila saya melanggar hak cipta, tetapi saya merasa cerita-cerita dari buku ini seharusnya disampaikan ke orang banyak. Inti cerita ini dalam pemikiran saya yang masih nyeleneh, zuhudlah terlebih dahulu, lalu dunia akan datang dengan mudah bahkan dengan sendirinya diberikan Allah SWT. Tetapi bisa juga diartikan, setelah cukup dunia, barulah zuhud bisa diperoleh. Entah mana yang benar, mungkin tergantung manusia yang menjalaninya.


[1] Ada sebuah masa yang lalu, ketika seorang sufi mengunjungi orang kaya maupun raja merupakan hal yang sangat tabu dan menunjukkan pengharapannya pada materi

Senin, 11 Maret 2013

Pari, Rayfish, Island

Just pics, no narration, enjoy photos from my trip to "Pulau Pari", Kepulauan Seribu, Jakarta!!!