Sabtu, 05 Januari 2013

Zodiac Murders, Tokyo

Tokyo Zodiac Murders, bagi pecinta film misteri dan detektif tentu akan ingat film Zodiac, film yang dirilis tahun 2007 tentang pembunuh berantai yang tidak tertangkap hingga dia meninggal sekitar 30 tahun sejak melakukan pembunuhan pertamanya. Tetapi tidak, buku ini tidak diinspirasi dari film itu, bahkan jika buku ini dibuat film, menurut saya akan lebih hebat dari film itu.

Zodiac (2007)
Di awal cerita (prolog), anda disuguhkan surat terakhir peninggalan dari sang pembunuh sepanjang 30 halaman, yang isinya banyak berhubungan dengan motif pembunuhan. Sang pembunuh percaya ia dapat membangkitkan dewi yang akan menyelamatkan Jepang dengan mengorbankan 6 anaknya (yang kebetulan zodiaknya berbeda-beda dan sesuai keperluan ritual pengorbanan) dan memutilasi lalu menggabungkan potongan-potongan tubuh mereka. Dia banyak menceritakan astrologi, yang menunjukkan ketertarikannya pada astrologi, cukup aneh mengingat pekerjaannya adalah pelukis. Tetapi semua pembunuh berantai di film atau buku-buku memang aneh dan menderita gangguan mental, mungkin di dunia nyata juga seperti itu.

Kita lalu diperkenalkan pada Kiyoshi Mitarai, seorang peramal yang kadang mengambil pekerjaan sebagai detektif lepas, hobi lebih tepatnya, karena dia hanya mencari kepuasan dari memecahkan kasus-kasus yang ditanganinya. Cerita diambil dari sudut pandang Kazumi Ishioka, penggemar berat misteri, sekaligus teman baik Mitarai. Hubungan mereka menurut saya mirip seperti Holmes dan Watson. Perbedaannya di sini, Ishioka lebih aktif dalam hal penyelidikan dibanding Watson, bahkan di tengah-tengah cerita mereka berpisah jalan untuk menjalani penyelidikan masing-masing.

Seperti Holmes, Mitarai nyentrik, pribadi yang aneh (tetapi tidak sampai menderita gangguan mental) berotak cemerlang. Dia bahkan mengkritik Holmes di awal cerita tentang "glitch" dalam karya Arthur Conan Doyles tersebut, yang tidak pernah saya sadari saat membaca Sherlock Holmes. "Glitch" dalam "Sabuk Berbintik" misalnya,

"Kisahnya tentang seekor ular, betul? Kalau kau menyimpan seekor ular dalam brankas, sebentar saja dia akan kehilangan oksigen. Dan seandainya dia bertahan hidup, ular tidak minum susu. Apa kau pernah melihat reptil menyusui bayinya? Hanya mamalia yang melakukan itu. Dan bagaimana dengan pria yang bersiul memanggil ular? Pada kenyataannya ular tidak dapat dilatih. Mereka tidak punya telinga, jadi bagaimana mereka bisa menuruti perintah seorang pria? Ini masalah logika."
Salah satu kisah Holmes yang dikritik Mitarai
Kemampuan deduksi Mitarai menurut saya setara dengan Holmes, walaupun metode penyelidikannya sangat berbeda dengan Holmes. Mitarai menggabungkan fakta-fakta, dan bertumpu pada brainstorming sedangkan Holmes lebih suka melakukan penyelidikan lapangan.

Buku ini dapat menyerap anda masuk ke dalam cerita, entah sebagai orang ketiga, sebagai pembunuh, atau Ishioka. Gaya cerita Soji Shimada, penulis buku ini, seperti air yang mengalir tenang di sungai, yang kadang menemui air terjun, penuh berbagai informasi yang harus anda cerna terlebih dahulu, karena Soji Shimada memasukkan berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan kasus ini, sehingga ia menantang pembaca untuk memecahkannya di akhir cerita.



Denah TKP, informasi yang bagus untuk memecahkan pembunuhan bukan?
Seperti game RPG, anda akan merasa ikut menjadi pendamping Mitarai memecahkan kasus, atau bahkan ingin ikut memecahkan kasus ini sendiri. Bahkan hingga seminggu setelah selesai membaca buku ini, saya masih merasa menyesal, seakan-akan saya yang membunuh dan melakukan mutilasi, dan membayangkan proses dan hasil mutilasi (hii!). Penggemar cerita misteri seharusnya membaca buku ini (dan menonton film Zodiac jika belum).