"Penyesalan selalu datang terlambat."
"Nasi sudah menjadi bubur."
Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat, jika datang duluan, bukan penyesalan namanya. Mungkin diantara kita ada yang pernah merasakan penyesalan akan tindakan2 di masa lalu, bagaimanapun juga, hal yang sudah berlalu tidak bisa dirubah lagi hanya bisa dijadikan pelajaran.
Diantara penyesalan yang ada di hati saya sekarang ini adalah kekalahan, kekalahan dalam suatu turnamen, tidak perlu disebut turnamen apa dan apa. Saat itu saya kapten tim, dan hingga kini, kekalahan di final itu terus menerus saya pikirkan dan sesalkan. "Move on dong !" pasti nasihat pertama orang-orang yang membaca ini. Tidak semudah itu, dan tidak sesederhana itu.
Dapat kita lihat di film Rambo, First Blood, post traumatic disorder pasca perang menyerang Rambo. Dia terus membayangkan teman-temannya yang tewas di dekatnya, sebagai satu-satunya orang yang selamat dari timnya, tentulah penyesalan yang sangat dalam ada di dirinya. Walaupun Rambo adalah karya fiksi, tetapi penyakit veteran perang adalah nyata, benar adanya. Diantara nama perang bahkan disebut sebagai penggolongan berbagai penyakit, Gulf War Syndrome. Dimana sindrom ini melanda para veteran Perang Teluk.
Tentu saja, dalam kasus saya tidak separah itu, tatapi hingga kini, saya masih terus memikirkan skenario-skenario lain dalam pertandingan final yang sangat menentukan itu. Memikirkan apa saja yang dapat, yang seharusnya saya lakukan untuk memenangkan pertandingan, memikirkan wajah teman-teman saya yang kecewa, sedih. Saya tidak tahu bagaimana perasaan teman-teman satu tim saya saat ini tentang pertandingan itu, tetapi pasti di lubuk hati mereka masih ada penyesalan.
Sungguh, bagi seseorang yang tidak menyukai kekalahan, seseorang yang berjiwa pemenang, satu kekalahan dapat merubah hidupnya.
“Anyone can deal with victory. Only the mighty can bear defeat.”
― Adolf Hitler